Berebut Kiblat Irama Tabla. Bag 2

Rabu, 11 Maret 2009
Pada 1950-an, selain ada A. Harris, juga ada nama-nama populer lain seperti Emma Gangga, Hasnah Thahar, dan Juhana Satar. Tapi, kemudian datang masa ketika supremasi terhadap lagu-lagu berirama Melayu direbut negeri jiran Malaysia. Popularitas P. Ramlee, biduan Malaysia yang mengaku keturunan Aceh, memindahkan kiblat musik Melayu ke negeri itu.

Lewat Engkau Laksana Bulan dan Azizah, P. Ramlee berjaya tak tersaingi. Apalagi, setelah itu ia juga membintangi beberapa film layar lebar. Popularitasnya di Indonesia pun makin subur. Semua yang berbau Ramlee menjadi trend. Tapi, pada 1960-an, muncullah Said Effendi, yang berhasil mengembalikan supremasi irama Melayu dari Malaysia ke Indonesia.

Lewat lagu Bahtera Laju, Said Effendi menempatkan diri sebagai pelantun irama Melayu nomor wahid negeri ini. Ia menyingkirkan popularitas P. Ramlee. Said Effendi memiliki lagu-lagu populer yang diciptakannya sendiri, seperti Bahtera Laju, Timang-timang, dan Fatwa Pujangga, serta lagu karya orang lain, misalnya Semalam di Malaysia (Syaiful Bahri) dan Diambang Sore (Ismail Marzuki). Ketenaran Said Effendi makin tak tertahan ketika ia muncul dengan lagu Seroja karya Husein Bawafie.

Sukses Seroja menarik minat sutradara Nawi Ismail untuk menokohkan Said Effendi ke dalam film dengan judul yang sama. Setelah itu, sutradara Asrul Sani pun menarik Said Effendi untuk membuat film Titian Serambut Dibelah Tujuh. Pada 1960-an ini pula muncul nama-nama penyanyi seperti Ellya Agus --yang kelak menjadi Ellya Khadam-- Ida Laila, M. Mashabi, dan Munif Bahaswan --yang populer dengan lagu ciptaannya sendiri, Bunga Nirwana.

Pada akhir dekade ini pula mulai muncul penyanyi-penyanyi yang kelak menorehkan jejak penting dalam sejarah dangdut, seperti A. Rafiq, Elvie Sukaesih, Muchsin Alatas, Rhoma Irama, dan Mansyur S. Toh, meski pada masa 1950-1960 irama Melayu menjadi jenis musik yang menyedot banyak penggemar, kepopulerannya benar-benar terdesak oleh kelahiran generasi pop 1960-an.

Band pop seperti Teruna Ria-nya Zaenal Arifin, Eka Sapta-nya Bing Slamet, dan Koes Bersaudara mulai menyemarakkan jagat musik Indonesia dengan gengsi yang lebih dari capaian orkes-orkes Melayu paling terkemuka. Tolok ukur keberhasilan mereka adalah tampil di Istora Senayan, Jakarta. Sementara, pada saat itu, musik Melayu seolah teronggok di pinggiran. Kiprah orkes-orkes Melayu ini paling hanya sampai resepsi perkawinan. Mereka pun --kecuali sang penyanyi-- masih memainkan musik sambil duduk.

Pada masa inilah, sebuah revolusi diam-diam berlangsung. Rhoma Irama tengah menggodok sebuah "kelahiran baru" bagi jenis musik ini. Kepada Gatra tujuh tahun lalu, Rhoma pernah membeberkan apa yang dipikirkannya ketika memulai gerakan perubahan itu. "Sebelumnya, saya orang pop, baru kemudian memilih musik Melayu," katanya.

Menurut Rhoma, alasan kepindahannya sungguh "ideologis". Di mata Rhoma Irama, musik --yang kelak disebut dangdut-- ini adalah milik orang-orang marjinal. Mereka mendapat perlakuan diskriminatif dari kelompok masyarakat kelas atas. "Dulu orkes Melayu hanya berhak main di tempat becek, tempat para fuqara wal masakin. Itulah yang membuat saya terpanggil memperjuangkan musik ini," katanya.

Rhoma pun berupaya merombak tradisi orkes Melayu agar dapat kompetitif dengan musik yang lain. "Contohnya dari segi lirik dan aransemen. Orkes Melayu itu dulunya identik dengan lirik ninabobo, mendayu-dayu, kepedihan, dan ratapan. Saya ubah dengan lirik yang optimistis dan dinamis," kata Rhoma Irama.

Tak hanya urusan lirik, Rhoma melakukan pengayaan musikal dengan memasukkan unsur-unsur rock, bahkan heavy metal. "Saya masukkan alat musik saksofon, gitar listrik, dan juga backing vokal," katanya. Dari segi performance, kalau dulu orkes Melayu tampil sambil duduk, "Saya buat berdiri dan atraktif," ia menambahkan.

Lebih dari itu, Rhoma Irama pun kemudian "mengislamkan" dangdut. Ia menegaskan bahwa Orkes Melayu Soneta-nya adalah sound of Moslem. Revolusi yang dibawa Rhoma ini ternyata tak hanya mengubah wajah dangdut, melainkan juga sekalian memperluas publiknya; tak hanya kaum pinggiran, juga generasi muda perkotaan yang tergila-gila rock.

Selain Rhoma, di generasi yang sama tumbuh bersamaan nama-nama besar dangdut lainnya, seperti Elvie Sukaesih, A. Rafiq, dan Mansyur S. Upaya keras generasi dangdut ini menampakkan hasil. Kaset rekaman mereka laku keras, bahkan dari segi jumlah mulai jauh mengungguli rekan-rekan mereka dari aliran musik pop. Dangdut pun mengambil tahtanya kembali sebagai "poros" musik di Tanah Air.

Malah, perlahan irama pop Melayu menjadi trend. Pada akhir 1970-an, jagat musik di sini diramaikan para penyanyi pop papan atas yang mencoba mendulang rezeki dari irama Melayu. Masih jelas dalam ingatan bagaimana Yok Koeswoyo dari Koes Plus merekam Cubit-cubitan yang berirama dangdut. Atau bagaimana Ucok Harahap membuat rock dangdut, dan Ahmad Albar menyanyikan Zakia. Bersambung

0 komentar:

Posting Komentar

banner125125 d'famous_125x125 balihemat ads_box ads_box ads_box