Berebut Kiblat Irama Tabla. Bag 3

Rabu, 11 Maret 2009
Dangdut pun go international sejak Camelia Malik dan Reynold Panggabean dengan grup Tarantula-nya manggung di pusat hiburan Shibuya, Tokyo, Jepang, selama tiga hari berturut-turut. Atau ketika Fahmi Shahab, Hetty Sunjaya, dan Elvie Sukaesih juga mentas di "negeri sakura" itu. Lagu Kopi Dangdut Fahmi bahkan sempat menduduki posisi nomor empat di tangga lagu Jepang, dan direkam dalam versi Jepang dengan judul Coffee Rumba.

Kasus revolusi Rhoma Irama dan perkembangan jenis musik ini kemudian menunjukkan, dangdut jauh lebih kosmopolit dari yang diduga. Dangdut tak pernah memilih proteksi dan kejumudan. Menghadapi lawan-lawannya --aliran musik lain-- dangdut tak sibuk melindungi diri. Ia bergerak merangkul lawan-lawannya. Kelenturan dangdut mengadaptasi berbagai elemen asing tak dimiliki jenis musik lain.

Musik rock, jazz, dan klasik hingga kini masih direpotkan dengan isu indigenisasi atau pempribumian yang tak kunjung usai. Bagi dangdut, problem indigenisasi praktis tak jadi soal. Padahal, jika dibandingkan dengan rock, jazz, dan musik klasik, elemen pembentuk dangdut bisa jadi lebih kompleks. Ia tak hanya menyerap irama kuraca musik India, melainkan juga musik gambus Arab, Melayu Deli, hingga rock ala Deep Purple yang disumbangkan Rhoma Irama.

Komunitas dangdut mampu meramu seluruh unsur itu, dan menghidangkannya kembali dengan cita rasa yang sungguh mengindonesia. Komunitas dangdut tak pernah galau unsur-unsur asing itu akan menjadi ancaman bagi budaya lokal. Dangdut diam-diam telah menjadi melting pot, mangkuk wadah pembauran, sejak awal kelahirannya.

Lihat saja, bagaimana dengan entengnya Orkes Melayu PSP (Pancaran Sinar Petromaks) pada penghujung 1970-an mendekonstruksi beberapa hit pop Barat menjadi langgam versi dangdut yang unik, seenaknya, dan sungguh nyaman dipakai bergoyang. My Bonnie, Oh Carol, Send Me the Pillow, Bye Bye Love, dan sederet lagu Barat lain disulap dengan bumbu dangdut menjadi hit baru yang digandrungi massa.

Sebelum PSP, seniman dangdut pendahulunya membuktikan tak haramnya pencaplokan sepihak ini. Lihat di akhir 1960-an, ketika Ellya Khadam menyihir publik dengan kegandrungannya mengolah lagu-lagu bersyair India. Syair lagu seperti Vayan kamahina pavane karesole (Bulan ini bahagia karena cinta) pun dihafal publik di luar kepala.

Yang jadi soal, kadang semangat rangkul-merangkul musik dangdut ini dilakukan berlebihan, sehingga kebenaran malah tersembunyi rapat. Lihat saja salah kaprah yang sengkarut di sekitar lagu Boneka dari India, yang kerap disebut-sebut "satu di antara tonggak penting sejarah musik Indonesia", karena menjadikan musik Melayu mengenal bunyi perkusi India.

Sejatinya, lagu yang populer dinyanyikan Ellya Khadam pada 1956 itu memang mentah-mentah lagu India. Di luar liriknya, lagu itu 100% mirip lagu Sama Hai Bahar Ka, yang dilantunkan biduanita top India masa itu, Lata Mangeskhar. Sungguh bukan kebetulan jika majalah Indian Film yang terbit di Surabaya, Jawa Timur, menahbiskan Ellya sebagai "Miss Lata Mangeskhar of Indonesia". Tentu, banyak yang tahu "penipuan" di balik lagu Boneka dari India itu. Toh, kalangan dangdut memilih pura-pura tidak tahu. Mungkin karena insiden semacam itu masih terus berulang dari tahun ke tahun.

Apa pun, dangdut telah menempuh perjalanan mendaki yang panjang, dan berhak atas sedikit pujian. "Sekarang, sound musik dangdut terdengar modern dan aransemennya sangat variatif dengan beat-beat yang tidak monoton," kata Aria Baron Arafat, musikus dari Baron Band yang juga arranger.

Menurut Baron, dulu warna dangdut lebih didominasi aspek bunyi perkusi. "Sekarang cengkok instrumennya tak semata-mata di perkusi, melainkan juga di alat-alat lain, terutama gitar," katanya. Baron melihat beberapa pemain gitar di orkes dangdut --dibantu teknologi akustik yang baik-- mampu menghadirkan roh dangdut sekuat roh blues yang berkembang di Amerika. Dikutip dari : Gatra

0 komentar:

Posting Komentar

banner125125 d'famous_125x125 balihemat ads_box ads_box ads_box